“Mana angin itu, hai Abu Nawas?” tanya Baginda. Di dalam, Tuanku yang mulia.” jawab Abu Nawas penuh takzim. “Aku tak melihat apa-apa.” kata Baginda Raja. “Ampun Tuanku, memang angin tak bisa dilihat, tetapi bila Paduka ingin tahu angin, tutup botol itu harus dibuka terlebih dahulu.” kata Abu Nawas menjelaskan. Setelah tutup botol dibuka. Baginda mencium bau busuk. Bau kentut yang begitu menyengat hidung.
“Bau apa ini, hai Abu Nawas?” tanya Baginda marah. “Ampun Tuanku yang mulia, tedi hamba buang angin dan hamba. masukkan ke dalam botol. Karena hamba takut angin yang hamba buang itu keluar maka hamba memenjarakannya dengan cara menyumbat mulut botol.” kata Abu Nawas ketakutan.
“Lalu apa maksudmu Abu Nawas?”
“Hamba. minta ganti rugi.”
“Kau hendah memeras seorang Raja?”
“Oh, bukan begitu Baginda.”
“Lalu apa maumu?”
“Baginda harus memberi saya hadiah berupa uang sekedar untuk bisa belanja dalam satu bulan.”
“Kalau tidak?” tantang Baginda. “Kalau tidak… hamba akan menceritakan kepada khalayak ramai bahwa Baginda telah dengan sengaja mencium kentut hamba!”
“Hah?” Baginda kaget dan jengkel tapi kemudian tertawa terbahak-bahak. “Baik permintaanmu kukabulkan!”
Kisah Abu Nawas |
Abu Nawas kaget bukan main ketika seorang utusan Baginda Raja
datang ke rumahnya. Ia harus menghadap Baginda secepatnya. Entah
permainan apa lagi yang akan dihadapi kali ini. Pikiran Abu Nawas
berloncatan ke sana kemari. Setelah tiba di istana, Baginda Raja
menyambut Abu Nawas dengan sebuah senyuman.
“Akhir-akhir ini aku sering mendapat gangguan perut. Kata tabib
pribadiku, aku kena serangan angin.” kata Baginda Raja memulai
pembicaraan. “Ampun Tuanku, apa yang bisa hamba lakukan hingga hamba dipanggil.” tanya Abu Nawas.
“Aku hanya menginginkan engkau menangkap angin dan memenjarakannya.” kata Baginda. Abu Nawas hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia tidak memikirkan bagaimana cara menangkap angin nanti, tetapi ia bingung bagaimana cara membuktikan bahwa yang ditangkap itu memang benar-benar angin.
“Aku hanya menginginkan engkau menangkap angin dan memenjarakannya.” kata Baginda. Abu Nawas hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia tidak memikirkan bagaimana cara menangkap angin nanti, tetapi ia bingung bagaimana cara membuktikan bahwa yang ditangkap itu memang benar-benar angin.
Karena angin tidak bisa dilihat. Tidak ada benda yang lebih aneh dari
angin. Tidak seperti halnya air walaupun tidak berwarna tetapi masih
bisa dilihat. Sedangkan angin tidak. Baginda hanya memberi Abu Nawas
waktu tidak lebih dari tiga hari. Abu Nawas pulang membawa pekerjaan
rumah dari Baginda Raja. Namun Abu Nawas tidak begitu sedih. Karena
berpikir sudah merupakan bagian dari hidupnya, bahkan merupakan suatu
kebutuhan.
Ia yakin bahwa dengan berpikir akan terbentang jalan keluar
dari kesulitan yang sedang dihariapi. Dan dengan berpikir pula ia yakin
bisa menyumbangkan sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan terutama
orang-orang miskin. Karena tidak jarang Abu Nawas menggondol sepundi
penuh uang emas hadiah dari Baginda Raja atas kecerdikannya.
Tetapi sudah dua hari ini Abu Nawas belum juga mendapat akal untuk
menangkap angin apalagi memenjarakannya. Sedangkan besok adalah hari
terakhir yang telah ditetapkan Baginda Raja. Abu Nawas hampir putus asa.
Abu Nawas benar – benar tidak bisa tidur walau hanya sekejap. Mungkin
sudah takdir; kayaknya kali ini Abu Nawas harus menjalani hukuman
karena gagal melaksanakan perintah Baginda, Ia berjalan gontai menuju
istana. Di sela-sela kepasrahannya kepada takdir ia ingat sesuatu,
yaitu Aladin dan lampu wasiatnya.
“Bukankah jin itu tidak terlihat?” Abu Nawas bertanya kepada diri
sendiri. ia berjingkrak girang dan segera berlari pulang. Sesampai di
rumah ia secepat mungkin menyiapkan segala sesuatunya kemudian manuju
istana. Di pintu gerbang istana Abu Nawas langsung dipersilahkan masuk
oleh para pengawal karena Baginda sedang menunggu kehadirannya. Dengan
tidak sabar Baginda langsung bertanya kepada Abu Nawas.
“Sudahkah engkau berhasil memenjarakan angin, hai Abu Nawas? “
“Sudah Paduka yang mulia.” jawab Abu Nawas dengan muka berseri-seri sambil mengeluarkan botol yang sudah disumbat. Kemudian Abu Nawas menyerahkan botol itu. Baginda menimbang-nimang batol itu.
“Sudah Paduka yang mulia.” jawab Abu Nawas dengan muka berseri-seri sambil mengeluarkan botol yang sudah disumbat. Kemudian Abu Nawas menyerahkan botol itu. Baginda menimbang-nimang batol itu.
“Mana angin itu, hai Abu Nawas?” tanya Baginda. Di dalam, Tuanku yang mulia.” jawab Abu Nawas penuh takzim. “Aku tak melihat apa-apa.” kata Baginda Raja. “Ampun Tuanku, memang angin tak bisa dilihat, tetapi bila Paduka ingin tahu angin, tutup botol itu harus dibuka terlebih dahulu.” kata Abu Nawas menjelaskan. Setelah tutup botol dibuka. Baginda mencium bau busuk. Bau kentut yang begitu menyengat hidung.
“Bau apa ini, hai Abu Nawas?” tanya Baginda marah. “Ampun Tuanku yang mulia, tedi hamba buang angin dan hamba. masukkan ke dalam botol. Karena hamba takut angin yang hamba buang itu keluar maka hamba memenjarakannya dengan cara menyumbat mulut botol.” kata Abu Nawas ketakutan.
Tetapi Baginda tidak jadi marah karena penjelasan Abu Nawas memang masuk akal. “Heheheheh kau memang pintar Abu Nawas.” Tapi… jangan keburu tertawa dulu, dengar dulu apa kata Abu Nawas. “Baginda…!”
“Ya Abu Nawas!”
“Hamba sebenarnya cukup pusing memikirkan cara melaksanakan tugas memenjarakan angin ini.”
“Ya Abu Nawas!”
“Hamba sebenarnya cukup pusing memikirkan cara melaksanakan tugas memenjarakan angin ini.”
“Lalu apa maksudmu Abu Nawas?”
“Hamba. minta ganti rugi.”
“Kau hendah memeras seorang Raja?”
“Oh, bukan begitu Baginda.”
“Lalu apa maumu?”
“Baginda harus memberi saya hadiah berupa uang sekedar untuk bisa belanja dalam satu bulan.”
“Kalau tidak?” tantang Baginda. “Kalau tidak… hamba akan menceritakan kepada khalayak ramai bahwa Baginda telah dengan sengaja mencium kentut hamba!”
“Hah?” Baginda kaget dan jengkel tapi kemudian tertawa terbahak-bahak. “Baik permintaanmu kukabulkan!”
Add caption |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar