“Saya
kaget, mengapa saya dapatkan uang sebanyak itu, saya takut dipenjara karena
mendapatkan kelebihan uang yang bukan hak saya,” kata Pak Waras polos.
Add caption |
Kalimat
lugas di atas bukanlah penggalan kalimat hiperbolis yang biasa diumbar dalam
adegan sinetron picisan yang acap kali ditayangkan stasiun TV. Atau
pilihan-pilihan kata yang sengaja disiapkan untuk menarik perhatian publik agar
terlihat bermoral.
Kata-kata
itu pastinya keluar dari orang yang istimewa? Tidak! Dia bukan seorang ulama,
bukan seorang politisi, bukan seorang seniman, apalagi pengusaha. Rangkaian
kata-kata sederhana itu meluncur begitu saja seakan membangunkan tidur panjang
kita dari alam ketidakjujuran. Tutur katanya keluar tanpa beban, sikapnya
begitu membumi, bersahabat dan jauh dari keangkuhan, gayanya begitu unik
‘ndeso’, dengan tawanya yang begitu lepas.
Pria
berbadan jangkung, bapak tiga anak ini sehari-hari, dikenal warganya sebagai
petani lugu. Namun, prinsip hidupnya sebagai warga desa yang jujur ternyata
masih utuh. Keluguan dan kejujuran tersebut teruji saat dia menerima transfer
uang muka ganti rugi dari PT Minarak Lapindo Jaya, pertengahan Juli lalu.
Waras,
(56), Warga Desa Siring, Porong, Kabupaten Sidoarjo masih tetap berotak dan
berhati waras, meski ber bulan-bulan menderita akibat rumahnya tenggelam
luberan Lumpur panas lapindo dan sulit mendapatkan makanan, tetapi tetap
memiliki hati nurani yang bersih. Kubangan Lumpur tidak serta merta mengotori
hatinya, ini dibuktikan ketika Waras mengembalikan “uang kelebihan” dari ganti
rugi yang diberikan manajemen PT Minarak Lapindo Jaya.
Pergulatan
batin bapak 3 anak itu bermula ketika Waras mengecek rekening untuk menampung
uang muka transaksi lahannya yang sudah tergenang lumpur. Waras yang memang
sudah menunggu 20 persen ganti rugi uang pembayaran lahannya yang 2.440 meter
persegi sebesar Rp 56 juta itu tak pernah menyangka saldonya akan kelebihan
hingga Rp 429 juta.
Idealnya,
dengan uang sebanyak itu Waras bisa berbuat banyak untuk keluarganya. Apalagi
kebutuhan keluarga mereka sudah semakin melambung setelah menjadi korban
langsung bencana lumpur. Dua dari 3 anaknya, Iswanto dan Sri Wahyuni, sudah
berstatus pengangguran karena pabrik tempatnya bekerja ditutup karena lumpur.
Jumlah
saldo itu bahkan jauh lebih besar dari total nilai ganti rugi yang akan mereka
terima sebesar Rp 398 juta. Tapi itulah Waras. Kepala keluarga ini merasa serba
tak enak gara-gara kelebihan uang ini. Bukan cuma tidak bisa tidur, Waras juga
mengaku tak enak makan. “Bukan cuma saya yang merasakan, tapi istri dan
anak-anak saya juga merasakan hal yang tak pernah kami rasakan sebelumnya,”
kata dia.
Sebelum
situasi menjadi makin berlarut-larut, keluarga amat sederhana ini kemudian
mengeluarkan keputusan. Menurut Waras, keluarga yang dipimpinnya kembali
mengingatkan tentang tujuan hidup mereka yang ingin tetap hidup adem-ayem tanpa
masalah.
Kepolosan
warga desa ini juga tergambar dari kekhawatiran bakal berurusan hukum bila
tetap nekat menggunakan uang tersebut. Suami Astiyah itu tak bisa membayangkan
kelanjutan nasib anak dan istrinya bila dirinya masuk penjara karena kesalahan
yang tidak dilakukannya itu.
Keluarga
amat sederhana ini kemudian sepakat mengambil keputusan untuk mengembalikan
uang kelebihan tersebut, karena falsafah hidupnya menginginkan hidup adem ayem
tanpa masalah, sehingga kepolosan warga desa ini tergambar dari kekhawatiran
berurusan dengan hukum, dan atas kejujurannya itu Waras menerima hadiah dari PT
Minarak Lapindo Jaya sebesar Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) yang
merupakan relatif uang halal.
Bekerja
keras, kelelahan, letih, semua itu adalah rona kehidupan sehari-hari yang
dijalani keluarga Pak Waras. Dan hal itu telah menjadi batu-pengasah bagi hati
dan jiwanya. Kesusahan hidup, penderitaan hidup, jalannya perjuangan buat
kehidupan, buat cita-cita, buat kebaikan masarakat, apalagi buat bangsa dan
negara, semua itu menempa dirinya, menyepuh dirinya.
Pak
Waras begitu waras tentang keyakinan bahwa seseorang akan menjadi baja yang
baik, emas-intan dan permata yang baik, atau hanya loyang dan tembaga biasa
saja, malah hanya hamparan batu kerikil saja, atau bahkan sampah karena
ditentukan oleh lingkungan, dan diri sendiri. Olah dan ulah kita sendiri akan
menentukan watak diri kita, dan semua itu dijalani dalam spirit perjuangan
kehidupan itu sendiri.
Di
era sekarang ini masih adakah Waras-Waras lain? Yang telah begitu lugas
memberikan contoh pada kita semua tentang makna “Kejujuran”. Di mana fenomena
palsu dan ketidakjujuran sudah menjadi salah satu penyakit dari orang yang
hendak menginginkan suatu tujuan, baik jabatan maupun kekuasaan.
Kebohongan
dan ketidakjujuran menjadi iklim sehingga orang yang tidak bermaksud bohong pun
terpaksa harus berbohong. Lebih gawat lagi, kebohongan menjadi sarana
berkomunikasi, hanya dalam kebohongan komunikasi bisa dijalankan. Dalam kondisi
seperti itu jika masyarakat tidak berkomunikasi dalam kebohongan, dan memakai
bahasa kebohongan, mereka akan ketinggalan dan tidak mendapatkan apa-apa.
Pembelajaran
–yang merupakan sikap jujur biasa dari Waras– itu sangatlah mengena di tengah
realitas kondisi sosial kemasyarakatan kita dewasa ini. Seharusnya memang
demikianlah sikap yang kita pilih ketika menghadapi hal yang sama. Tetapi dapat
dijaminkah “disiplin sosial” semacam itu memancar dari setiap orang?
Apakah
nilai-nilai keteladanan sudah sedemikian langka, sehingga sikap wajar Waras
malah seperti mendekonstruksi kenyataan yang mungkin mengemuka secara lain
seandainya bukan dia yang menerima “rezeki tidak terduga” itu? Kita diingatkan,
kita disentil, dan kita seperti dicerahkan!
Dalam
pelajaran-pelajaran budi pekerti di masa lalu, para guru dan orang tua kita
sering mengingatkan mengenai pentingnya “disiplin sosial”. Seperti dalam contoh
bagaimana kita ditekankan untuk menyisihkan waktu guna menyingkirkan duri atau
kayu yang menghalang di tengah jalan. Jika tidak disingkirkan, mungkin bukan kita
yang akan tersandung, terkena duri atau mengalami akibat yang lebih parah,
tetapi orang lain.
Muatan
ajarannya, bagaimana kita memiliki kepedulian kepada orang lain. Juga contoh
lain, bagaimana sikap yang harus dipilih seandainya kita menemukan uang yang
terjatuh di tengah jalan.
Dalam
kasus-kasus tertentu, bisa jadi akan aman-aman saja Pak Waras menggunakan
“kelebihan” uang yang diterimanya tanpa dia minta. Bukankah bukan salah dia?
Tetapi bukan itu sikap yang dia pilih, melainkan merasa ada hak yang bukan
miliknya. Atau jika dilihat dari kacamata muraqabatullah, dia merasa “Allah
selalu tahu”, dan ada “hak orang lain yang tidak boleh dia ambil”. Sikap
semacam itulah yang seharusnya membuat kita malu. Mereka yang memegang
kekuasaan mesti melihatnya sebagai kaca benggala. Bukankah banyak orang yang
memiliki peluang dan memanfaatkannya “semaksimal mungkin”?
Krisis
multidimensional, korupsi, kolusi, nepotisme, kekerasan, teror, pelanggaran
HAM, dan sebagainya, adalah daftar persoalan bangsa ini, namun hingga kini para
pemimpin, politisi, dan elite Indonesia tidak pernah bisa menyelesaikan semua
persoalan itu secara signifikan. Bertahannya Indonesia sampai saat sekarang ini
bukan karena prestasi mereka, tetapi boleh jadi –dengan izin Allah– karena
masih banyak rakyat jelata yang berjuang hidup gigih dalam kejujurannya. Semua
persoalan itu berulang-ulang diwacanakan dan dipidatokan di kalangan pemimpin,
politisi, dan elite Indonesia. Namun, hingga kini, mereka tetap menjadi
persoalan yang bersarang dan merasuk kuat dalam kehidupan bangsa ini.
Penyelesaian semua persoalan itu tidak akan pernah terjadi, jika para pemimpin,
politisi, dan elite Indonesia tidak lebih dulu mengatasi dan menyelesaikan
ketidakjujuran yang merupakan problem mendasar bangsa ini.
Kita
sering diingatkan tentang tingkah laku sosial ini yang idealnya menggambarkan
pancaran perilaku keagamaan kita. Ada nilai kesalehan yang selalu relevan.
Tetapi realitasnya, banyak yang menunjukkan terjadinya kesenjangan pada banyak
segi. Para koruptor seenaknya menggangsir harta rakyat. Jangankan berpikir
tentang akibat bagi negara dan rakyat, usikan tentang kejujuran pun pasti tidak
masuk dalam agenda. Hati nurani ditutup rapat. Pemanfaatan peluang merupakan
hal yang biasa, sehingga kejujuran menjadi sikap langka. Dengan sikap dan
kejujurannya yang natural, Pak Waras mengajak semua untuk berpikir “waras”.
Penulis : Aidil
Heryana, S.Sosi
Artikel lainnya :
Kisah Inspiratif - JALAN YANG HARUS DIPILIH UNTUK SUKSES
Kisah Inspiratif - SATU TANGAN & SATU JURUS UNTUK MENJADI PEMENANG
CARI TAHU TDP /ANGSURAN DATSUN - KLIK DISINI...! |
Add caption |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar