ADAB BUANG HAJAT YANG PERLU DIKETAHUI
Siapa
saja yang hendak menunaikan hajatnya, buang air besar atau air kecil,
maka hendaklah ia mengikuti 10 adab berikut ini. Semoga bermanfaat.
Bismillah..
Pertama :
Add caption |
Bismillah..
Pertama :
Menutup diri dan menjauh dari manusia ketika buang hajat.
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ وَكَانَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَأْتِى الْبَرَازَ حَتَّى
يَتَغَيَّبَ فَلاَ يُرَى.
“Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam ketika safar, beliau tidak menunaikan hajatnya di daerah
terbuka, namun beliau pergi ke tempat yang jauh sampai tidak nampak
dan tidak terlihat.”[1]
Kedua :
Kedua :
Tidak membawa sesuatu yang bertuliskan nama Allah.
Seperti memakai cincin yang bertuliskan nama Allah dan semacamnya. Hal
ini terlarang karena kita diperintahkan untuk mengagungkan nama Allah
dan ini sudah diketahui oleh setiap orang secara pasti. Allah Ta’ala
berfirman,
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa
mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari
ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32)
Ada sebuah riwayat dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,
Ada sebuah riwayat dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ وَضَعَ خَاتَمَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa ketika memasuki kamar mandi, beliau meletakkan cincinnya.”[2]
Akan tetapi hadits ini adalah hadits munkar yang diingkari oleh banyak peneliti hadits. Namun memang cincin beliau betul bertuliskan “Muhammad Rasulullah”.[3] Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan,
Akan tetapi hadits ini adalah hadits munkar yang diingkari oleh banyak peneliti hadits. Namun memang cincin beliau betul bertuliskan “Muhammad Rasulullah”.[3] Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan,
“Jika
cincin atau semacam itu dalam keadaan tertutup atau dimasukkan ke
dalam saku atau tempat lainnya, maka boleh barang tersebut dimasukkan
ke WC. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, “Jika ia mau, ia boleh
memasukkan barang tersebut dalam genggaman tangannya.” Sedangkan jika
ia takut barang tersebut hilang karena diletakkan di luar, maka boleh
masuk ke dalam kamar mandi dengan barang tersebut dengan alasan kondisi
darurat.”[4]
Ketiga :
Ketiga :
Membaca basmalah dan meminta perlindungan pada Allah (membawa ta’awudz) sebelum masuk tempat buang hajat.
Ini jika seseorang memasuki tempat buang hajat berupa bangunan.
Sedangkan ketika berada di tanah lapang, maka ia mengucapkannya di
saat melucuti pakaiannya.[5] Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
سَتْرُ مَا بَيْنَ أَعْيُنِ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِى آدَمَ إِذَا دَخَلَ أَحَدُهُمُ الْخَلاَءَ أَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ
“Penghalang antara pandangan jin dan aurat manusia adalah jika salah seorang di antara mereka memasuki tempat buang hajat, lalu ia ucapkan “Bismillah”.”[6]
Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ قَالَ «
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memasuki jamban, beliau ucapkan: Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khobaits (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan[7]).”[8]
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Adab membaca doa semacam ini tidak dibedakan untuk di dalam maupun di luar bangunan.”[9] Untuk do’a “Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khobaits”, boleh juga dibaca Allahumma inni a’udzu bika minal khubtsi wal khobaits (denga ba’ yang disukun). Bahkan cara baca khubtsi (dengan ba’ disukun) itu lebih banyak di kalangan para ulama hadits sebagaimana dikatakan oleh Al Qodhi Iyadh rahimahullah. Sedangkan mengenai maknanya, ada ulama yang mengatakan bahwa makna khubtsi (dengan ba’ disukun) adalah gangguan setan, sedangkan khobaits adalah maksiat.[10] Jadi, cara baca dengan khubtsi (dengan ba’ disukun) dan khobaits itu lebih luas maknanya dibanding dengan makna yang di awal tadi karena makna kedua berarti meminta perlindungan dari segala gangguan setan dan maksiat.
Keempat :
Masuk ke tempat buang hajat terlebih dahulu dengan kaki kiri dan keluar dari tempat tersebut dengan kaki kanan.
Untuk dalam perkara yang baik-baik seperti memakai sandal dan
menyisir, maka kita dituntunkan untuk mendahulukan yang kanan.
Sebagaimana terdapat dalam hadits,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِى
تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِى شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka
mendahulukan yang kanan ketika memakai sandal, menyisir rambut, ketika
bersuci dan dalam setiap perkara (yang baik-baik).”
[11]
Dari hadits ini, Syaikh Ali Basam mengatakan, “Mendahulukan yang
kanan untuk perkara yang baik, ini ditunjukkan oleh dalil syar’i, dalil
logika dan didukung oleh fitrah yang baik. Sedangkan untuk perkara
yang jelek, maka digunakan yang kiri. Hal inilah yang lebih pantas
berdasarkan dalil syar’i dan logika.”[12] Asy Syaukani rahimahullah
mengatakan, “Adapun mendahulukan kaki kiri ketika masuk ke tempat buang
hajat dan kaki kanan ketika keluar, maka itu memiliki alasan dari
sisi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka mendahulukan
yang kanan untuk hal-hal yang baik-baik. Sedangkan untuk hal-hal yang
jelek (kotor), beliau lebih suka mendahulukan yang kiri. Hal ini
berdasarkan dalil yang sifatnya global.”[13]
Kelima :
Kelima :
Tidak menghadap kiblat atau pun membelakanginya.
Dari Abu Ayyub Al Anshori, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« إِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَ فَلاَ تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلاَ
تَسْتَدْبِرُوهَا ، وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا » . قَالَ أَبُو
أَيُّوبَ فَقَدِمْنَا الشَّأْمَ فَوَجَدْنَا مَرَاحِيضَ بُنِيَتْ قِبَلَ
الْقِبْلَةِ ، فَنَنْحَرِفُ وَنَسْتَغْفِرُ اللَّهَ تَعَالَى
“Jika kalian mendatangi jamban, maka janganlah kalian
menghadap kiblat dan membelakanginya. Akan tetapi, hadaplah ke arah
timur atau barat.” Abu Ayyub mengatakan, “Dulu kami pernah tinggal di
Syam. Kami mendapati jamban kami dibangun menghadap ke arah kiblat.
Kami pun mengubah arah tempat tersebut dan kami memohon ampun pada
Allah Ta’ala.”[14]
Yang dimaksud dengan “hadaplah arah barat dan timur” adalah ketika kondisinya di Madinah. Namun kalau kita berada di Indonesia, maka berdasarkan hadits ini kita dilarang buang hajat dengan menghadap arah barat dan timur, dan diperintahkan menghadap ke utara atau selatan. Namun apakah larangan menghadap kiblat dan membelakanginya ketika buang hajat berlaku di dalam bangunan dan di luar bangunan ? Jawaban yang lebih tepat, hal ini berlaku di dalam dan di luar bangunan berdasarkan keumuman hadits Abu Ayyub Al Anshori di atas. Pendapat ini dipilih oleh Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[15], Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani[16] dan pendapat terakhir dari Syaikh Ali Basam[17]. Adapun hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan,
Yang dimaksud dengan “hadaplah arah barat dan timur” adalah ketika kondisinya di Madinah. Namun kalau kita berada di Indonesia, maka berdasarkan hadits ini kita dilarang buang hajat dengan menghadap arah barat dan timur, dan diperintahkan menghadap ke utara atau selatan. Namun apakah larangan menghadap kiblat dan membelakanginya ketika buang hajat berlaku di dalam bangunan dan di luar bangunan ? Jawaban yang lebih tepat, hal ini berlaku di dalam dan di luar bangunan berdasarkan keumuman hadits Abu Ayyub Al Anshori di atas. Pendapat ini dipilih oleh Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[15], Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani[16] dan pendapat terakhir dari Syaikh Ali Basam[17]. Adapun hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan,
ارْتَقَيْتُ فَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ حَفْصَةَ لِبَعْضِ حَاجَتِى ،
فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقْضِى حَاجَتَهُ
مُسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةِ مُسْتَقْبِلَ الشَّأْمِ
“Aku pernah menaiki rumah Hafshoh karena ada sebagian
keperluanku. Lantas aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam buang hajat dengan membelakangi kiblat dan menghadap Syam.”[18]
Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membelakangi kiblat ketika buang hajat. Maka mengenai hadits Ibnu ‘Umar ini kita dapat memberikan jawaban sebagai berikut.
Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membelakangi kiblat ketika buang hajat. Maka mengenai hadits Ibnu ‘Umar ini kita dapat memberikan jawaban sebagai berikut.
- Pelarangan menghadap dan membelakangi kiblat lebih kita dahulukan daripada yang membolehkannya.
- Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat lebih didahulukan dari perbuatan beliau.
- Hadits Ibnu ‘Umar tidaklah menasikh (menghapus) hadits Abu Ayyub Al Anshori karena apa yang dilihat oleh Ibnu ‘Umar hanyalah kebetulan saja dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan adanya hukum baru dalam hal ini.[19]
Simpulannya, pendapat yang lebih tepat dan lebih hati-hati adalah
haram secara mutlak menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang
hajat.
Keenam :
Keenam :
Terlarang berbicara secara mutlak kecuali jika darurat.
Dalilnya adalah hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
أَنَّ رَجُلاً مَرَّ وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَبُولُ فَسَلَّمَ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ.
“Ada seseorang yang melewati Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan beliau sedang kencing. Ketika itu, orang
tersebut mengucapkan salam, namun beliau tidak membalasnya.”[20]
Syaikh Ali Basam mengatakan, “Diharamkan berbicara dengan orang lain ketika buang hajat karena perbuatan semacam ini adalah suatu yang hina, menunjukkan kurangnya rasa malu dan merendahkan murua’ah (harga diri).” Kemudian beliau berdalil dengan hadits di atas.[21] Syaikh Abu Malik mengatakan, “Sudah kita ketahui bahwa menjawab salam itu wajib. Ketika buang hajat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya, maka ini menunjukkan diharamkannya berbicara ketika itu, lebih-lebih lagi jika dalam pembicaraan itu mengandung dzikir pada Allah Ta’ala. Akan tetapi, jika seseorang berbicara karena ada suatu kebutuhan yang mesti dilakukan ketika itu, seperti menunjuki jalan pada orang (ketika ditanya saat itu, pen) atau ingin meminta air dan semacamnya, maka dibolehkan saat itu karena alasan darurat. Wallahu a’lam.”[22]
Ketujuh :
Syaikh Ali Basam mengatakan, “Diharamkan berbicara dengan orang lain ketika buang hajat karena perbuatan semacam ini adalah suatu yang hina, menunjukkan kurangnya rasa malu dan merendahkan murua’ah (harga diri).” Kemudian beliau berdalil dengan hadits di atas.[21] Syaikh Abu Malik mengatakan, “Sudah kita ketahui bahwa menjawab salam itu wajib. Ketika buang hajat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya, maka ini menunjukkan diharamkannya berbicara ketika itu, lebih-lebih lagi jika dalam pembicaraan itu mengandung dzikir pada Allah Ta’ala. Akan tetapi, jika seseorang berbicara karena ada suatu kebutuhan yang mesti dilakukan ketika itu, seperti menunjuki jalan pada orang (ketika ditanya saat itu, pen) atau ingin meminta air dan semacamnya, maka dibolehkan saat itu karena alasan darurat. Wallahu a’lam.”[22]
Ketujuh :
Tidak buang hajat di jalan dan tempat bernaungnya manusia.
Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« اتَّقُوا اللَّعَّانَيْنِ ». قَالُوا وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ « الَّذِى يَتَخَلَّى فِى طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ فِى
ظِلِّهِمْ ».
“Hati-hatilah dengan al la’anain (orang yang dilaknat oleh
manusia)!” Para sahabat bertanya, “Siapa itu al la’anain (orang yang
dilaknat oleh manusia), wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Mereka
adalah orang yang buang hajat di jalan dan tempat bernaungnya
manusia.”[23]
Kedelapan :
Kedelapan :
Tidak buang hajat di air yang tergenang.
Dalilnya adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُبَالَ فِى الْمَاءِ الرَّاكِدِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kencing di air tergenang.”[24]
Salah seorang ulama besar Syafi’iyah, Ar Rofi’i mengatakan, “Larangan di sini berlaku untuk air tergenang yang sedikit maupun banyak karena sama-sama dapat mencemari.”[25]
Dari sini, berarti terlarang kencing di waduk, kolam air dan bendungan karena dapat menimbulkan pencemaran dan dapat membawa dampak bahaya bagi yang lainnya. Jika kencing saja terlarang, lebih-lebih lagi buang air besar. Sedangkan jika airnya adalah air yang mengalir (bukan tergenang), maka tidak mengapa. Namun ahsannya (lebih baik) tidak melakukannya karena seperti ini juga dapat mencemari dan menyakiti yang lain.[26]
Kesembilan :
Salah seorang ulama besar Syafi’iyah, Ar Rofi’i mengatakan, “Larangan di sini berlaku untuk air tergenang yang sedikit maupun banyak karena sama-sama dapat mencemari.”[25]
Dari sini, berarti terlarang kencing di waduk, kolam air dan bendungan karena dapat menimbulkan pencemaran dan dapat membawa dampak bahaya bagi yang lainnya. Jika kencing saja terlarang, lebih-lebih lagi buang air besar. Sedangkan jika airnya adalah air yang mengalir (bukan tergenang), maka tidak mengapa. Namun ahsannya (lebih baik) tidak melakukannya karena seperti ini juga dapat mencemari dan menyakiti yang lain.[26]
Kesembilan :
Memperhatikan adab ketika istinja’ (membersihkan sisa kotoran setelah buang hajat, alias cebok),
di antaranya sebagai berikut.
1. Tidak beristinja’ dan menyentuh kemaluan dengan tangan kanan. Dalilnya adalah hadits Abu Qotadah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
di antaranya sebagai berikut.
1. Tidak beristinja’ dan menyentuh kemaluan dengan tangan kanan. Dalilnya adalah hadits Abu Qotadah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا شَرِبَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَتَنَفَّسْ فِى الإِنَاءِ ، وَإِذَا
أَتَى الْخَلاَءَ فَلاَ يَمَسَّ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ ، وَلاَ
يَتَمَسَّحْ بِيَمِينِهِ
“Jika salah seorang di antara kalian minum, janganlah ia
bernafas di dalam bejana. Jika ia buang hajat, janganlah ia memegang
kemaluan dengan tangan kanannya. Janganlah pula ia beristinja’ dengan
tangan kanannya.”[27]
2. Beristinja’ bisa dengan menggunakan air atau menggunakan minimal tiga batu (istijmar). Beristinja’ dengan menggunakan air lebih utama daripada menggunakan batu sebagaimana menjadi pendapat Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarok, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan Ishaq.[28] Alasannya, dengan air tentu saja lebih bersih. Dalil yang menunjukkan istinja’ dengan air adalah hadits dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,
2. Beristinja’ bisa dengan menggunakan air atau menggunakan minimal tiga batu (istijmar). Beristinja’ dengan menggunakan air lebih utama daripada menggunakan batu sebagaimana menjadi pendapat Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarok, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan Ishaq.[28] Alasannya, dengan air tentu saja lebih bersih. Dalil yang menunjukkan istinja’ dengan air adalah hadits dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا خَرَجَ لِحَاجَتِهِ
أَجِىءُ أَنَا وَغُلاَمٌ مَعَنَا إِدَاوَةٌ مِنْ مَاءٍ . يَعْنِى
يَسْتَنْجِى بِهِ
“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk
buang hajat, aku dan anak sebaya denganku datang membawa seember air,
lalu beliau beristinja’ dengannya.”[29]
Dalil yang menunjukkan istinja’ dengan minimal tiga batu adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Dalil yang menunjukkan istinja’ dengan minimal tiga batu adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا اسْتَجْمَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَجْمِرْ ثَلاَثاً
“Jika salah seorang di antara kalian ingin beristijmar (istinja’ dengan batu), maka gunakanlah tiga batu.”[30]
3. Memerciki kemaluan dan celana dengan air setelah kencing untuk menghilangkan was-was.
Ibnu ‘Abbas mengatakan,
3. Memerciki kemaluan dan celana dengan air setelah kencing untuk menghilangkan was-was.
Ibnu ‘Abbas mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- تَوَضَّأَ مَرَّةً مَرَّةً وَنَضَحَ فَرْجَهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan satu
kali – satu kali membasuh, lalu setelah itu beliau memerciki
kemaluannya.”[31]
Jika tidak mendapati batu untuk istinja’, maka bisa digantikan dengan benda lainnya, asalkan memenuhi tiga syarat:
[1] benda tersebut suci, [2] bisa menghilangkan najis, dan [3] bukan barang berharga seperti uang atau makanan.[32]
Sehingga dari syarat-syarat ini, batu boleh digantikan dengan tisu yang khusus untuk membersihkan kotoran setelah buang hajat.
Kesepuluh :
Jika tidak mendapati batu untuk istinja’, maka bisa digantikan dengan benda lainnya, asalkan memenuhi tiga syarat:
[1] benda tersebut suci, [2] bisa menghilangkan najis, dan [3] bukan barang berharga seperti uang atau makanan.[32]
Sehingga dari syarat-syarat ini, batu boleh digantikan dengan tisu yang khusus untuk membersihkan kotoran setelah buang hajat.
Kesepuluh :
Mengucapkan do’a “ghufronaka” setelah keluar kamar mandi.
Dalilnya adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْغَائِطِ قَالَ « غُفْرَانَكَ ».
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa setelah beliau keluar kamar mandi beliau ucapkan “ghufronaka” (Ya Allah, aku memohon ampun pada-Mu).”[33]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Kenapa seseorang dianjurkan mengucapkan “ghufronaka” selepas keluar dari kamar kecil, yaitu karena ketika itu ia dipermudah untuk mengeluarkan kotoran badan, maka ia pun ingat akan dosa-dosanya. Oleh karenanya, ia pun berdoa pada Allah agar dihapuskan dosa-dosanya sebagaimana Allah mempermudah kotoran-kotoran badan tersebut keluar.”[34]
Demikian beberapa adab ketika buang hajat yang bisa kami sajikan di tengah-tengah pembaca sekalian. Semoga Allah memberi kepahaman dan memudahkan untuk mengamalkan adab-adab yang mulia ini. Semoga Allah selalu menambahkan ilmu yang bermanfaat yang akan membuahkan amal yang sholih.
Pangukan-Sleman, 7 Rabi’ul Akhir 1431 H (22/03/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel lainnya :
DAFTAR HARGA & PAKET KREDIT DATSUN - KLIK DISINI...! |
Add caption |
Agenpoker.biz merupakan solusi judi poker online terbaik dalam permainan poker. Segera
BalasHapusdaftarkan diri anda dan dapatkan Bonus Depo Awal Member Baru dan juga Bonus Pulsa hanya di
AGENPOKER.BIZ , Jadilah jutawan hanya dengan modal 10.000 rupiah sekarang juga !!!!