Add caption |
Jika sampai besok tunggakan uang bangunan dan uang sekolah tidak
dilunasi, dia akan dikeluarkan dari sekolah. Ibu penjual jamu ini
terkejut mendengarnya. Sesaat, seolah dunia menjadi gelap. Dia
kebingungan dan tak tahu harus berbuat apa. Ketika keterkejutan mulai
mereda, dia diempaskan lagi oleh gelombang kekagetan berikutnya ketika
si anak menyebutkan sejumlah angka sebagai total tunggakannya.
Napas sang Ibu segera saja menderu, keringat dingin mulai meleleh di
keningnya, tangannya gemetar, dan suaranya menjadi lirih terputus-putus.
Yang dapat dia ucapkan hanya mengulang nilai uang yang sudah disebutkan
anaknya.
Tanpa bisa memberikan janji muluk-muluk kepada anak-nya, wanita
penjual jamu itu beranjak ke tempat tidur untuk beristirahat sejenak.
Akan tetapi, alih-alih dapat tidur dengan nyenyak, semakin dia mencoba
memejamkan mata, semakin gelisah pula dia dibuatnya.
Ketika matanya rapat menutup, silih berganti bayangan yang menakutkan dan lintasan kejadian pada masa depan yang suram tergambar di benaknya bak sebuah film horor yang terus-menerus menghantui.
Ketika matanya rapat menutup, silih berganti bayangan yang menakutkan dan lintasan kejadian pada masa depan yang suram tergambar di benaknya bak sebuah film horor yang terus-menerus menghantui.
Dia pun berusaha menenangkan diri dengan membetulkan posisi tubuhnya
dan berkali-kali dia menarik napas dalam dan mengembuskannya
panjang-panjang. Sedikit demi sedikit otak-nya mulai dapat diajak
berpikir.
Malangnya, setiap kali otaknya mengalkulasi, setiap kali itu pula dia
merasa kepalanya seperti dibenturkan ke sebuah dinding baja. Dengan segala
macam tunggakan, utang di warung sebelah, bahan baku jamu yang belum
terbayar semuanya, ketercukupan kebutuhan pangan hanya untuk sehari
saja, dan beban harus membayar uang sekolah anaknya seolah melengkapi
seluruh penderitaannya.
Hampir semalaman, dia takdapat memicingkan matanya, kasur yang tipis
terasa semakin tipis. Kamar yang pengap kini terasa semakin membekap.
Memang, dunia tak pernah memberikan ampun kepada mereka-mereka yang
kalah.
Sepertiga malam yang penghujung pun terlalui. Rasa letih pun pada
akhirnya mengalahkan semuanya. Setelah gelombang kekalutannya beranjak
surut, akhirnya dia sampai pada sebuah kesadaran bahwa kepasrahan adalah
satu-satunya jalan untuk meringankan beban perasaan.
Apa sih, yang bisa dilakukan seorang wanita lemah semacam dirinya.
Dia tidak punya apa-apa selain keinginan untuk keluar dari permasalahan
tersebut. Dia pun sadar, hanya Allahlah satu-satunya yang dapat
menolong. Ketika jajan sudah buntu, ke kiri jurang ke kanan jurang,
tidak ada lagi yang bisa dimintai pertolongan selain Zat yang mengatur
segalanya.
Pada saat tetesan air mata yang jatuh dari pelupuk matanya, dia
bergumam lirih, “Duh Gusti, hamba minta tolong dari segala kesulitan
ini. Tidak ada yang bisa menjadi tempat bergantung selain pada-Mu.”
Dibelainya kepala sang Anak yang tertidur di sampingnya perlahan.
Damai terasa menyergap bersama dinginnya malam yang gelap. Dalam lelah,
si Ibu tertidur setengah bertelekan di tepian ranjang kayu. Tidur yang
teramat singkat, tiga puluh menit saja mungkin lamanya.
Ketika azan shubuh dari mushala sebelah berkumandang, sang Ibu merasa
lebih segar. Pukul enam pagi, dia sudah berkemas dan siap untuk memulai
berjualan dengan berjalan kaki. Telombong segera dipondong, botol-botol
yang semula kosong kini telah kembali tampil kinclong.
Dia telah membulatkan tekad untuk menawarkan sebuah opsi kepada
seorang pelanggan setianya. Dia akan mengajukan sebuah proposal, suplai
jamu terusan dengan setengah pembayaran di muka, tentu saja untuk
membayar uang sekolah anaknya.
Singkat kata, dengan tutur kata yang halus, disampaikanlah maksudnya.
Sayang, rencana manusia terkadang berjalan takseirama dengan orkestrasi
semula. Maksudnya itu dipahami, tetapi sang pelanggan tidak dapat
membantunya. Lunglailah badan si Ibu penjual jamu itu.
Tak bersemangat lagi dia untuk menghadapi hari itu yang baginya
terasa semakin mirip dengan neraka dunia. Rasa putus asa itu memang
menghancurkan. Dia mengubah warna dari semula yang bak bianglala menjadi
hegemoni tunggal hitam belaka.
Namun, dengan sisa tenaga yang ada, dia terus mencoba, dan akhirnya
pada rumah kelima, proposalnya diterima. Tepat pukul dua, dia sudah
duduk di depan meja petugas tata usaha sekolah anaknya. Enam lembar uang
lima puluh ribuan pun berpindah tangan dan segera bertukar dengan
selembar kertas kuitansi. Selembar kertas kumal yang baginya tampak
seindah Pulau Bali.
Barang siapa hatinya dihadirkan oleh Allah kala berdo'a, niscaya do'a itu tidak akan ditolak. (Yahya bin Mu’adz Ar Raz)
Artikel lainnya :
5 Penyesalan Manusia Menjelang Ajal
Artikel lainnya :
5 Penyesalan Manusia Menjelang Ajal
CARI TAHU PAKET KREDIT DATSUN |
Add caption |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar