Alasan Bassis band Gugun Blues Shelter "Jono" Menjadi Muallaf
Jono - Gugun Vlues Shelter |
Bassist
band Gugun Blues Shelter (GBS), Johnathan Amstrong atau biasa
disapa Jono memutuskan diri menganut agama Islam tahun 2000
silam.
Jono lahir dari keluarga Kristen yang taat. Ayahnya adalah seorang pendeta. Meski begitu, sang ayah samasekali tidak menghalangi Jono untuk pindah keyakinan. Saat ini Jono menempati rumahnya di kawasan Jatiwaringin, Jakarta Timur, Jono bercerita, ketertarikannya untuk memeluk Islam mulai timbul saat ia bertandang ke Aceh.
Pertama kali ke Indonesia, Jono memang langsung
menginjakkan kakinya di Tanah Rencong, Aceh. Kisah seorang kawan muslim yang
berkebangsaan Perancis yang bercerita soal keindahan alam Aceh, membuatnya
tertarik berlabuh di daerah tersebut. Ini menjadi awal kisah Jono terpikat pada
Islam.
"Waktu saya harus pulang ke Inggris, saya harus transit di salah satu negara di Asia. Nah saya pilih Indonesia. Kenapa saya pilih Indonesia, ini karena cerita dari teman saya," katanya.
"Dia cerita dan kasih lihat foto, ada tempat di Aceh, namanya Sabang. Di situ, kamu bisa sewa penginapan US$1 per malam. Waktu itu, saya masih berusia 19, dan saya lihat foto Aceh indah sekali, jadi saya bilang saya mau ke sana," ceritanya.
Waktu pertama kali mengunjungi Aceh, ia sempat tinggal selama tiga bulan di sana. Jono berkelana ke berbagai daerah di Aceh, terutama Sabang. Di sana, ia terpana melihat kehidupan Umat Islam.
"Awalnya, saya berpikir soal Islam yang negatif-negatif saja, tapi saat saya menginjakkan kaki di Aceh, Islam terasa beda di sana," ujarnya.
Pria kelahiran Inggris ini, selama hidupnya memang tidak pernah mengenal pelajaran soal Islam. Ia hanya beranggapan, Islam identik dengan jihad, terorisme, bom bunuh diri, hingga poligami. Tapi, ketika berada di Aceh, hal negatif soal Islam yang ada di pikirannya seolah sirna.
"Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, orang-orang Islam di Aceh itu 180 derajat jauh beda dengan yang ada di pikiran saya. Nggak ada itu yang namanya pukul-pukul istri dan lain-lain yang negatif. Orang Islam di sana ramah, kekeluargaannya masih kuat, nggak ada yang negatif-negatif," kisahnya.
Dari situ, Jono mulai tertarik belajar lebih dalam soal Islam. Jono, akhirnya juga tertarik bertanya pada teman muslimnya, seperti apa Islam yang sesungguhnya. "Teman saya bilang, Islam itu sebenarnya nggak jauh beda sama agama saya. Cuma ada tambahan-tambahan sedikit yang menuntun seseorang untuk kembali ke jalan Tuhan," ceritanya.
Jono pun merasa tak kesulitan mempelajari Islam lebih dalam. Setelah perjalanannya mengarungi Aceh usai, ia sempat pulang ke Australia dan kembali rindu pada Aceh. Akhirnya, ia kembali. Kedatangannya yang kedua di Tanah Rencong mempertemukannya pada wanita Aceh bernama Fauziah yang kini menjadi istrinya. Ketika itu, Jono memutuskan untuk menjadikan Fauziah sebagai kekasihnya. Fauziah juga berusaha membantu Jono belajar mengenal Islam lebih dekat. Sebagai kekasih, Fauziah lekas bertanya pada Jono, apakah ia, benar-benar tertarik memeluk agama Islam, Jono pun menyatakan yakin, ingin berpindah menjadi seorang muslim.
Karena yakin dengan keputusannya, ia lantas pulang ke negara asalnya, Inggris, meminta izin pada orangtuanya, untuk memeluk Islam. Ia merasa bersyukur, izinnya disambut baik sang ayah. Meski sempat sang ayah mempelajari dan mencari tahu soal Islam lebih jauh, tapi akhirnya, kata setuju terucap.
"Saya bilang sama bapak saya, saya mau masuk Islam. Terus dia bilang, bagus itu, nggak apa-apa. Karena bapak saya sudah belajar juga, dia punya Al Quran dalam bahasa Inggris, jadi dia tahu bagaimana Islam."
"Waktu saya harus pulang ke Inggris, saya harus transit di salah satu negara di Asia. Nah saya pilih Indonesia. Kenapa saya pilih Indonesia, ini karena cerita dari teman saya," katanya.
"Dia cerita dan kasih lihat foto, ada tempat di Aceh, namanya Sabang. Di situ, kamu bisa sewa penginapan US$1 per malam. Waktu itu, saya masih berusia 19, dan saya lihat foto Aceh indah sekali, jadi saya bilang saya mau ke sana," ceritanya.
Waktu pertama kali mengunjungi Aceh, ia sempat tinggal selama tiga bulan di sana. Jono berkelana ke berbagai daerah di Aceh, terutama Sabang. Di sana, ia terpana melihat kehidupan Umat Islam.
"Awalnya, saya berpikir soal Islam yang negatif-negatif saja, tapi saat saya menginjakkan kaki di Aceh, Islam terasa beda di sana," ujarnya.
Pria kelahiran Inggris ini, selama hidupnya memang tidak pernah mengenal pelajaran soal Islam. Ia hanya beranggapan, Islam identik dengan jihad, terorisme, bom bunuh diri, hingga poligami. Tapi, ketika berada di Aceh, hal negatif soal Islam yang ada di pikirannya seolah sirna.
"Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, orang-orang Islam di Aceh itu 180 derajat jauh beda dengan yang ada di pikiran saya. Nggak ada itu yang namanya pukul-pukul istri dan lain-lain yang negatif. Orang Islam di sana ramah, kekeluargaannya masih kuat, nggak ada yang negatif-negatif," kisahnya.
Dari situ, Jono mulai tertarik belajar lebih dalam soal Islam. Jono, akhirnya juga tertarik bertanya pada teman muslimnya, seperti apa Islam yang sesungguhnya. "Teman saya bilang, Islam itu sebenarnya nggak jauh beda sama agama saya. Cuma ada tambahan-tambahan sedikit yang menuntun seseorang untuk kembali ke jalan Tuhan," ceritanya.
Jono pun merasa tak kesulitan mempelajari Islam lebih dalam. Setelah perjalanannya mengarungi Aceh usai, ia sempat pulang ke Australia dan kembali rindu pada Aceh. Akhirnya, ia kembali. Kedatangannya yang kedua di Tanah Rencong mempertemukannya pada wanita Aceh bernama Fauziah yang kini menjadi istrinya. Ketika itu, Jono memutuskan untuk menjadikan Fauziah sebagai kekasihnya. Fauziah juga berusaha membantu Jono belajar mengenal Islam lebih dekat. Sebagai kekasih, Fauziah lekas bertanya pada Jono, apakah ia, benar-benar tertarik memeluk agama Islam, Jono pun menyatakan yakin, ingin berpindah menjadi seorang muslim.
Karena yakin dengan keputusannya, ia lantas pulang ke negara asalnya, Inggris, meminta izin pada orangtuanya, untuk memeluk Islam. Ia merasa bersyukur, izinnya disambut baik sang ayah. Meski sempat sang ayah mempelajari dan mencari tahu soal Islam lebih jauh, tapi akhirnya, kata setuju terucap.
"Saya bilang sama bapak saya, saya mau masuk Islam. Terus dia bilang, bagus itu, nggak apa-apa. Karena bapak saya sudah belajar juga, dia punya Al Quran dalam bahasa Inggris, jadi dia tahu bagaimana Islam."
JONO DAN ANAK-ANAK |
Kata
Jono, orangtuanya sama sekali tak menentang. Mereka justru merasa bahagia,
anaknya menemukan keyakinan yang sesuai dengan hati nuraninya. Apalagi, saat
remaja Jono bukan anak yang baik. Hidupnya pernah kelam, suka main perempuan,
minum-minuman beralkohol hingga menjadi pengguna narkotika.
"Waktu masuk Islam, prosesnya nggak lama. Waktu itu saya konsultasi sama Ketua MUI di Aceh namanya Yusni Sabi, saya konsultasi sama dia, dan kata dia, 'oke, dua hari lagi kita bikin acara kecil di Masjid Raya Aceh Baitturahman', dan saya di Islamkan di tempat itu," ceritanya.
Saat mengucap dua kalimat syahadat, ada beberapa orang yang menjadi saksinya, termasuk keluarga Fauziah. Dan tepat di bulan Oktober tahun 2000 akhirnya ia resmi menjadi seorang mualaf.
"Waktu itu saya belum menikah dengan Fauziah. Dan saya sempat pulang ke Inggris, kembali lagi ke Aceh, bulan Desember saya menikah," katanya.
Puasa adalah ajaran Islam paling sulit dijalaninya
Menjadi mualaf, tak lantas membuat Jono menjadi muslim yang taat. Ia masih terus belajar memperdalam keyakinannya pada Islam. Fauziah, katanya sebagai istri yang sabar menuntunnya belajar. Mulai dari salat, mengaji hingga memberi contoh yang baik termasuk saat menjalankan ibadah puasa dengan baik.
Baginya, berpuasa mengajarkannya banyak hal. Bukan hanya menahan lapar dan haus, tapi juga menahan emosi dan amarah. Sulit bagi Jono menjalani kewajiban umat muslim satu ini. Bahkan, tak jarang, puasanya batal karena tak bisa menahan haus.
"Saya masih terus berusaha memperdalam keislaman saya. Sejauh ini, puasa saya juga masih banyak yang bolong, tapi bersyukur, istri saya selalu sabar menuntun," katanya.
Cobaan juga mampir padanya
Menjadi keluarga yang menganut ajaran Islam, cobaan juga sempat mampir padanya. "Waktu itu , kalau tidak salah pas saya punya anak kedua, Tobi, itu cobaan berat sekali. Keluarga Fauziah kena tsunami, dan saya waktu itu belum punya pekerjaan tetap. Keluarga Fauziah banyak yang hilang, dan akhirnya kami sempat pulang ke Inggris," kisahnya.
Setelah cobaan bertubi-tubi menghampirinya, tahun 2004, Jono mulai merasakan nikmat berkah sang Maha Kuasa. Di tahun itu, Jono diajak bergabung, masuk dalam grup band Gugun Blues Shelter hingga akhirnya nama band itu populer. Jono mulai full bekerja di musik, dan mulai mendapatkan tawaran job dari berbagai stasiun televisi.
"Waktu masuk Islam, prosesnya nggak lama. Waktu itu saya konsultasi sama Ketua MUI di Aceh namanya Yusni Sabi, saya konsultasi sama dia, dan kata dia, 'oke, dua hari lagi kita bikin acara kecil di Masjid Raya Aceh Baitturahman', dan saya di Islamkan di tempat itu," ceritanya.
Saat mengucap dua kalimat syahadat, ada beberapa orang yang menjadi saksinya, termasuk keluarga Fauziah. Dan tepat di bulan Oktober tahun 2000 akhirnya ia resmi menjadi seorang mualaf.
"Waktu itu saya belum menikah dengan Fauziah. Dan saya sempat pulang ke Inggris, kembali lagi ke Aceh, bulan Desember saya menikah," katanya.
Puasa adalah ajaran Islam paling sulit dijalaninya
Menjadi mualaf, tak lantas membuat Jono menjadi muslim yang taat. Ia masih terus belajar memperdalam keyakinannya pada Islam. Fauziah, katanya sebagai istri yang sabar menuntunnya belajar. Mulai dari salat, mengaji hingga memberi contoh yang baik termasuk saat menjalankan ibadah puasa dengan baik.
Baginya, berpuasa mengajarkannya banyak hal. Bukan hanya menahan lapar dan haus, tapi juga menahan emosi dan amarah. Sulit bagi Jono menjalani kewajiban umat muslim satu ini. Bahkan, tak jarang, puasanya batal karena tak bisa menahan haus.
"Saya masih terus berusaha memperdalam keislaman saya. Sejauh ini, puasa saya juga masih banyak yang bolong, tapi bersyukur, istri saya selalu sabar menuntun," katanya.
Cobaan juga mampir padanya
Menjadi keluarga yang menganut ajaran Islam, cobaan juga sempat mampir padanya. "Waktu itu , kalau tidak salah pas saya punya anak kedua, Tobi, itu cobaan berat sekali. Keluarga Fauziah kena tsunami, dan saya waktu itu belum punya pekerjaan tetap. Keluarga Fauziah banyak yang hilang, dan akhirnya kami sempat pulang ke Inggris," kisahnya.
Setelah cobaan bertubi-tubi menghampirinya, tahun 2004, Jono mulai merasakan nikmat berkah sang Maha Kuasa. Di tahun itu, Jono diajak bergabung, masuk dalam grup band Gugun Blues Shelter hingga akhirnya nama band itu populer. Jono mulai full bekerja di musik, dan mulai mendapatkan tawaran job dari berbagai stasiun televisi.
JONO DAN ISTRI FAUZIAH |
"Waktu itu, saya ngisi acara Belajar Indonesia di Trans TV, jadi host dan tampil 8 episode. Setelah itu, tampil di Dahsyat dan jadwal manggung Gugun Blues Shelter makin padat. Pokoknya rezeki ada terus setelah cobaan itu, " katanya.
Tahun lalu, Jono juga mulai mengisi acara sahur di RCTI. Setelah kontraknya habis, ia ditawari untuk tampil di acara Canda Bule dan tahun ini, Jono kembali memeriahkan acara sahur di 'Waktunya Kita Sahur' yang tayang di Trans TV.
"Selama saya masuk Islam, saya banyak dapat berkah. Rezeki mengalir, apalagi sekarang saya mengisi acara sahur, saya bisa menghibur banyak orang di bulan puasa."
"Meskipun saya bukan orang Indonesia, tapi mereka merasa senang bisa terhibur. Dan saya juga senang bisa menghibur mereka. Ini merupakan berkah buat saya," tegasnya.
Artikel lainnya :
INFO HARGA NISSAN SERENA - KLIK DISINI SAJA...! |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar