Kisah
Nyata : Bai Fang Li, Seorang Tukang Becak Hidup Dalam Kemiskinan Tapi Sangat
Dermawan
Add caption |
Kisah nyata berikut ini mungkin pernah anda baca sebelumnya diberbagai media, mungkin juga di jaringan sosial media, karena memang banyak sekali yang menuliskannya dengan berbagai versi penulisan. Berikut adalah Kisah hidup seorang Tukang becak di Cina yang banyak menginspirasi begitu banyak orang yang membaca kisah hidupnya.
Dia
bukan orang ternama, Bai Fang Li namanya,
sehari-hari bekerja sebagai tukang becak, bahkan seluruh hidupnya habis di atas
sadel becaknya. Mengayuh dan mengayuh untuk memberi jasanya kepada orang yang
naik becaknya. Mengantarkan kemana saja pelanggannya menginginkannya, dengan
imbalan uang sekedarnya.Tubuhnya tidaklah perkasa. Perawakannya malah tergolong
kecil. Tetapi semangatnya luar biasa untuk bekerja. Mulai jam enam pagi setelah
melakukan rutinitasnya untuk berdo’a memohon kepada Tuhan. Dia melalang di
jalanan, dan ia akan mengakhiri kerja kerasnya setelah jam delapan malam.
Para
pelanggannya sangat menyukai Bai Fang Li, karena ia pribadi yang ramah dan
senyum tak pernah lekang dari wajahnya. Dan ia tak pernah mematok berapa orang
harus membayar jasanya. Namun karena kebaikan hatinya itu, banyak orang yang
menggunakan jasanya membayar lebih. Mungkin karena tidak tega, melihat
bagaimana tubuh yang kecil malah tergolong ringkih itu dengan nafas yang
ngos-ngosan (apalagi kalau jalanan mulai menanjak) dan keringat bercucuran
berusaha mengayuh becak tuanya. Bai Fang Li tinggal
disebuah gubuk reot yang nyaris sudah mau rubuh, di daerah yang tergolong kumuh
di Tianjin, Cina. Di daerah itu juga dihuni banyak tukang becak, para penjual
asongan dan pemulung lainnya. Gubuk itupun bukan miliknya, karena ia menyewanya
secara harian. Perlengkapan di gubuk itu sangat sederhana. Hanya ada sebuah
tikar tua yang telah robek-robek dipojok-pojoknya, tempat dimana ia biasa
merebahkan tubuh penatnya setelah sepanjang hari mengayuh becak.
Gubuk
itu hanya merupakan satu ruang kecil dimana ia biasa merebahkan tubuhnya
beristirahat, diruang itu juga ia menerima tamu yang butuh bantuannya, diruang
itu juga ada sebuah kotak dari kardus yang berisi beberapa baju tua miliknya
dan sebuah selimut tipis tua yang telah bertambal-tambal. Ada sebuah piring
seng comel yang mungkin diambilnya dari tempat sampah dimana biasa ia makan,
ada sebuah tempat minum dari kaleng. Dipojok ruangan tergantung sebuah lampu
templok minyak tanah, lampu yang biasa dinyalakan untuk menerangi kegelapan di
gubuk tua itu bila malam telah menjelang.
Bai Fang Li tinggal sendirian digubuknya. Dan orang hanya tahu bahwa ia
seorang pendatang. Tak ada yang tahu apakah ia mempunyai sanak saudara sedarah.
Tapi nampaknya ia tak pernah merasa sendirian, banyak orang yang suka padanya,
karena sifatnya yang murah hati dan suka menolong. Tangannya sangat ringan
menolong orang yang membutuhkan bantuannya, dan itu dilakukannya dengan
sukacita tanpa mengharapkan pujian atau balasan.
Dari
penghasilan yang diperolehnya selama seharian mengayuh becaknya, sebenarnya ia
mampu untuk mendapatkan makanan dan minuman yang layak untuk dirinya dan
membeli pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan baju tuanya yang hanya
sepasang dan sepatu bututnya yang sudah tak layak dipakai karena telah robek.
Namun dia tidak melakukannya, karena semua uang hasil penghasilannya
disumbangkannya kepada sebuah Yayasan sederhana yang biasa mengurusi dan
menyantuni sekitar 300 anak-anak yatim piatu miskin di Tianjin.
Yayasan
yang juga mendidik anak-anak yatim piatu melalui sekolah yang ada.Hatinya
sangat tersentuh ketika suatu ketika ia baru beristirahat setelah mengantar
seorang pelanggannya. Ia menyaksikan seorang anak lelaki kurus berusia sekitar
6 tahun yang yang tengah menawarkan jasa untuk mengangkat barang seorang ibu
yang baru berbelanja. Tubuh kecil itu nampak sempoyongan mengendong beban berat
dipundaknya, namun terus dengan semangat melakukan tugasnya. Dan dengan
kegembiraan yang sangat jelas terpancar dimukanya, ia menyambut upah beberapa
uang recehan yang diberikan oleh ibu itu, dan dengan wajah menengadah ke langit
bocah itu berguman, mungkin ia mengucapkan syukur pada Tuhan untuk rezeki yang
diperolehnya hari itu.
Beberapa
kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong ibu-ibu yang berbelanja, dan
menerima upah uang recehan. Kemudian ia lihat anak itu beranjak ketempat
sampah, mengais-ngais sampah, dan waktu menemukan sepotong roti kecil yang
kotor, ia bersihkan kotoran itu, dan memasukkan roti itu kemulutnya,
menikmatinya dengan nikmat seolah itu makanan dari surga.
Hati
Bai Fang Li tercekat melihat itu, ia hampiri anak lelaki itu, dan
berbagi makanannya dengan anak lelaki itu. Ia heran, mengapa anak itu tak
membeli makanan untuk dirinya, padahal uang yang diperolehnya cukup banyak, dan
tak akan habis bila hanya untuk sekedar membeli makanan sederhana. “Uang yang
saya dapat untuk makan adik-adik saya” jawab anak itu. “Orang tuamu dimana?”
tanya Bai Fang
Li.“Saya tidak tahu, ayah ibu saya pemulung. Tapi sejak sebulan lalu
setelah mereka pergi memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus
bekerja untuk mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang masih kecil”
sahut anak itu.
Bai Fang Li minta anak itu mengantarnya melihat ke dua adik anak lelaki
bernama Wang Ming itu. Hati Bai Fang Li semakin
merintih melihat kedua adik Wang Fing, dua anak perempuan kurus berumur 5 tahun
dan 4 tahun. Kedua anak perempuan itu nampak menyedihkan sekali, kurus, kotor
dengan pakaian yang compang camping. Bai Fang Li tidak
menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu tidak terlalu perduli dengan situasi
dan keadaan ketiga anak kecil yang tidak berdaya itu, karena memang mereka juga
terbelit dalam kemiskinan yang sangat parah, jangankan untuk mengurus orang
lain, mengurus diri mereka sendiri dan keluarga mereka saja mereka kesulitan.
Bai Fang Li kemudian membawa ke tiga anak itu ke Yayasan yang biasa
menampung anak yatim piatu miskin di Tianjin. Pada pengurus yayasan itu Bai Fang Li mengatakan bahwa ia setiap hari akan mengantarkan
semua penghasilannya untuk membantu anak-anak miskin itu agar mereka
mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan mendapatkan perawatan dan
pendidikan yang layak.
Sejak
saat itulah Bai
Fang Li mulai memberi sumbangan ke
yayasan itu. Seluruh uang penghasilannya setelah dipotong sewa gubuknya dan
pembeli dua potong kue kismis untuk makan siangnya dan sepotong kecil daging
dan sebutir telur untuk makan malamnya, seluruhnya ia sumbangkan.“Tidak apa-apa
saya menderita, yang penting biarlah anak-anak yang miskin itu dapat makanan
yang layak dan dapat bersekolah. Dan saya bahagia melakukan semua ini,” katanya
bila orang-orang menanyakan mengapa ia mau berkorban demikian besar untuk orang
lain tanpa perduli dengan dirinya sendiri.
Hari
demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, sehingga hampir 20 tahun Bai Fang Li menggenjot
becaknya demi memperoleh uang untuk menambah donasinya pada yayasan yatim piatu
di Tianjin itu. Saat berusia 90 tahun, dia mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar
RMB 500 (sekitar 650 ribu Rupiah) yang disimpannya dengan rapih dalam suatu
kotak dan menyerahkannnya ke sekolah Yao Hua.
Bai Fang Li berkata “Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya
tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya
sumbangkan” katanya dengan sendu. Semua guru di sekolah itu menangis.Tiga tahun
kemudian, Bai Fang Li wafat pada usia 93 tahun. Ia meninggal dalam kemiskinan. Sekalipun
begitu, dia telah menyumbangkan di sepanjang hidupnya uang sebesar RMB 350.000
(kurs 1300, setara 455 juta Rupiah) yang dia berikan kepada Yayasan yatim piatu
dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk menolong kurang lebih 300 anak-anak
miskin. (dari berbagai sumber)
Artikel lainnya :
Kisah Inspiratif - PELAJARAN DARI 2 EKOR KUDA
Kisah Inspiratif - HACHIKO, KISAH KESETIAAN SEEKOR ANJING
CARI TAHU HARGA EVALIA HWS - KLIK DISINI...! |
Add caption |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar