Membaca status seorang teman di
facebook yang menuliskan tentang masalah Jilbab (Hijab) berkaitan dengan rencana
dikeluarkannya peraturan daerah (Perda). Hal ini menarik untuk dituliskan di
blog ini.
Statusnya "Kalo Njogja
memang mau Istimewa, sebaiknya tidak terbawa arus ikut-ikutan 'gerakan'
Arabisasi sekolah-sekolah umum negeri (mewajibkan jilbab bagi guru/murid
sekolah beragama Islam). Selamat Pagi" begitu tulisan status yang saya
baca di situs jejaring sosial facebook pagi itu.
Ada beberapa komentar menarik yang ikut
mengomentari status diatas antara lain :
Iwan Prasetyo (saya) :
Mas Teguh, Jilbab itu bukan
Arabisasi dan itupun bukan budaya Arab. Jilbab adalah salah satu perintah agama
Islam untuk menutupi aurat bagi wanita muslimah.
Menurut saya itu anjuran
/perintah yang sangat baik dari seorang pemimpin yang mengerti dan paham dengan
ke- Islamannya. Seorang pemimpin akan diminta pertanggung jawabannya di akherat
nanti, ia telah melaksanakan amanah tersebut.
Selanjutnya serahkan kembali
kepada rakyat / masyarakatnya apakah akan mengikuti aturan pemimpin atau
menolaknya.
Teguh Setiawan (penulis status) :
Fatwa pemimpin agama bisa
diterima, berlaku bagi umatnya, bisa diikuti bisa ditolak. Peraturan publik
dari pemimpin publik yang mengatur urusan privat itu tidak boleh dan tidak bisa
dibenarkan, kecuali kalau negeri ini adalah negara Islam. Esensi status saya
bukan anti-jilbab, tapi saya menolak peraturan publik yang mengatur urusan
privat (seperti Perda Syariah itu). Kalau sudah ditetapkan sebagai peraturan
publik, dia punya kekuatan hukum formal, rakyat harus mengikuti atau dihukum,
tidak bisa menolak beda dengan fatwa.
Millati Syifa (komentar) :
Jilbab sebagai seragam kan ?
Selama ini pegawai pakai seragam juga gpp (ga' apa-apa). Bukankah seragam juga
mengganggu privasi ? Maaf ya om. Kali ini saya memang tidak setuju dengan
pemikiranmu. Pikirkan saja hal lain yang lebih konstruktif.
Gigih Budi Abadi (komentar) :
Betul komen diatas, jilbab
perintah agama bukan perintah Arab, dan dalam Islam tidak dikenal ke istimewaan
lokalitas kecuali Masjidil Haram dan masjid nabi, tapi kalo orang mau menolak
fakwa itu silahkan urusan pribadi. Jadi kalo menolak itu bukan karena DIY tapi
karena urusan pribadi.
Iwan Prasetyo (saya) :
Nah...kalau kita melihatnya dari
hukum sebab akibat, ini juga ada hubungannya. Perintah agama Islam adalah WAJIB
memakai Jilbab untuk wanita muslim. Sebagai seorang pemimpin (muslim)
adalah kewajibannya untuk mengingatkan /menganjurkan dan melaksanakan perintah
agamanya. Disinilah letak hubungan sebab dan akibat perintah tersebut dikeluarkan.
Lalu mengenai sanksi hukum formal
atau hukum positif dalam hukum tata negara, mungkin hanya sanksi administrasif
saja dan hanya dikenakan khusus untuk karyawati /wanita muslimah artinya diberi
kebebasan juga untuk yang non muslim.
Sebenarnya masyarakat perlu
mendukung dan mengikuti pemimpinnya, bilamana itu memberikan kebaikan dan
manfaat utk rakyatnya. That's all
Note :
Jilbab itu indah dan melindungi pemakainya,
gimana setuju...?
Teguh Setiawan (penulis status) :
Tugas utama pemerintah itu bukan
mengatur hal-hal yang sifatnya privat/pribadi seperti agama karena itu sudah
diatur oleh kitab suci agama masing2 (yang sanksinya jauh lebih dahsyat :
neraka) karena itu tidak perlu pemerintah campur tangan. Tugas utama pemerintah
itu : menyediakan layanan publik terutama akses kebutuhan dasar dengan harga
semurah-murahnya, itu dulu yang dipikirin...
Bambang Intojo (komentar) :
Aturan agama mengikat pemeluknya,
sanksi pada tataran agama, sebagian nanti di akhirat. aturan pemerintah
mengikat warganya, dan diundangkan dalam hukum positif sehingga sanksinya
dikenakan oleh aparat yg bertugas.
Keduanya bekerja dalam ranah yang
berbeda dengan konsekuensi yang berbeda pula, mencampur-adukkannya dengan dalih
negara ini bukan sekuler sekaligus bukan agama, merupakan alasan mengada-ada.
Jelas negara ini bukan negara
agama, apalagi negara Islam, menyelundupkan aturan agama pada aturan hukum
positif, bisa disebut minteri.
Ada beberapa komentar lainnya yang
karena keterbatasan ruang tidak saya masukkan disini, namun isinya ada yang pro
dan kontra terhadap rencana perda DIY untuk mewajibkan jilbab bagi sekolah umum
untuk guru/murid sekolah beragama Islam.
Jelasnya rencana ini ada yang
menolak ataupun yang mendukung, masing-masing punya argumen atau alasan
sendiri.
Kalau saya karena bukan warga DIY
ya netral saja, tapi menurut hemat saya itu adalah hak dan kewenangan pemimpin
saat ini. Apakah rencana perda tersebut akan direalisasikan ataupun tidak, namun
hal ini juga menyangkut hak warga DIY, apakah ingin mengikutinya ataupun
menolak rencana perda tersebut.
Saya jadi teringat pesan bijak
bahwa tiap-tiap orang itu adalah pemimpin dan setiap pemimpin itu akan
dimintakan pertanggung jawabannya kelak di akhirat nanti.
Jadi kesimpulannya apabila saat
ini anda seorang suami juga kepala rumah tangga, atau kepala sekolah, atau pemimpin /pemilik perusahaan, atau kepala pemerintahan yang beragama muslim dst…. Maka
perintahkan para wanita ataupun istri dan anak-anak perempuan untuk menutup auratnya dengan memakai
jilbab (hijab), karena kelak anda akan dimintakan pertanggung jawaban sebagai
pemimpin. Hal ini sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh agama Islam.
Mengenai pro dan kontra rencana
perda tersebut, tidaklah menjadi suatu masalah karena sebagai pemimpin ia
mengerti dan telah melaksanakan amanahnya. Kini kembalikan lagi kepada
masyarakatnya apakah akan mendukung atau menolaknya. Ada mekanismenya melalui
wakil rakyat di daerah tersebut. Salah satu kewajiban pemerintah adalah melindungi masyarakat supaya merasa aman dan nyaman, dengan mengenakan jilbab (hijab) itu akan memberikan perlindungan untuk kaum wanita, khususnya wanita muslimah.
Apakah anda yang membaca blog ini termasuk
yang setuju atau menolak rencana perda DIY tersebut, mohon berikan komentarnya.
Terima kasih.