Selasa, 06 Mei 2014

MISI PASUKAN KHUSUS - OPERASI PEMBEBASAN SANDERA PESAWAT GIA WOYLA

Salah satu kisah heroik yang tertulis dalam sejarah dan menjadi prestasi membanggakan dari satuan khusus Tentara Republik Indonesia. Misi pasukan elit Indonesia dalam operasi pembebasan pesawat DC-9 Woyla dengan nomor penerbangan GA 206 Garuda Indonesia. Berikut kisah operasi pembebasan Woyla yang membanggakan.

Teror di Akhir Pekan

Pada hari Sabtu di tahun 1981, tepatnya pada tanggal 28 Maret, sebuah pesawat Douglas DC-9 Woyla dengan nomor penerbangan GA 206 milik Garuda Indonesia melakukan penerbangan rutin dari Jakarta menuju Medan dengan melakukan transit di Palembang. Suasana akhir pekan di pagi itu terasa hangat di benak para penumpang. Di antara para penumpang terdapat juga sejumlah WNA, di antaranya adalah seorang warga Inggris dan AS. Pukul 8 pagi, pesawat yang diterbangkan oleh Kapten Pilot Herman Rante dan Kopilot Hedhy Juwantoro tersebut lepas landas dari bandara Ta Talangbetutu, Palembang menuju bandara Polonia, Medan dan  dijadwalkan tiba pada pukul 11 pagi. Tidak ada yang menyangka, pesawat bermesin ganda yang mengangkut 48 penumpang itu tidak pernah mendarat di bandara tujuan.

Ternyata, penerbangan pagi itu adalah sasaran teror bagi lima orang bersenjata yang juga berada di pesawat Garuda tersebut. Ketika mengudara, dua orang bersenjata beranjak dari kursi mereka. Seorang dari mereka masuk ke kokpit, sedangkan lainnya menguasai kabin penumpang. Pembajak memaksa kapten pilot Herman Rante untuk menerbangkan pesawat ke Colombo, Sri Lanka. Dikarenakan  jumlah bahan bakar tidak memungkinkan untuk terbang sejauh itu, pembajak memerintahkan kapten Herman Rante untuk terbang ke Penang, Malaysia.
Setelah mengisi bahan bakar, atas ancaman dan permintaan  para pembajak, serta izin dari Pemerintah Thailand, pesawat bertolak ke Bandara Internasional Bangkok yang lama, atau dikenal juga dengan Don Mueang, Thailand. “Pokoknya terbang sejauh-jauhnya dari Indonesia” bentak Mahrizal, salah seorang pembajak kepada kedua pilot. Di bandara Dong Mueang lah sejarah akan mencatat drama pembajakkan pesawat yang legendaris, baik dalam catatan sejarah militer maupun aviasi.

Penerbangan GA 206 baru diketahui telah dibajak berdasarkan informasi Kapten Pilot A. Sapari yang menerbangkan Fokker 28 di mana saat itu dirinya baru lepas landas dari bandara Simpang Tiga, Pekan Baru. Kapten A. Sapari menangkap komunikasi radio GA 206 yang berbunyi, “being hijacked… being hijacked.” Berita tersebut lalu diteruskan ke Jakarta dan diterima oleh Sudomo, Wakil Panglima ABRI saat itu. Sudomo pun menyampaikan keadaan darurat itu kepada Kepala Pusat Intelijen, Letnan Jenderal Benny Moerdani.


Kelompok bersenjata itu menyebut diri mereka Komando Jihad yang dipimpin oleh Imran bin Muhammad Zein. Aksi pembajakan itu dilakukan agar pemerintah Indonesia memenuhi tuntutan mereka yakni membebaskan 80 orang tahanan yang memiliki hubungan dengan kelompok mereka. Tidak hanya itu, mereka juga menuntut tebusan uang sebesar US$ 1.5 juta. Untuk menambah tekanan terhadap pemerintah agar mengabulkan tuntutan mereka, sebuah bom terpasang di pesawat DC-9 tersebut.

Persiapan Operasi Pembebasan Sandera

MISI PASUKAN KHUSUS - OPERASI PEMBEBASAN SANDERA PESAWAT GIA WOYLA
Pasukan Khusus Yang Terlatih
Presiden Soeharto pada Sabtu malam memutuskan untuk menggunakan opsi militer untuk membebaskan sandera. Jenderal bintang tiga, Benny Moerdani, ditunjuk sebagai penanggung jawab operasi pembebasan sandera. Sementara itu, pemerintah Indonesia juga mengulur-ngulur waktu dengan teroris agar dapat melakukan persiapan pembebasan dengan cukup, selain dari menunggu izin pemerintah Thailand untuk melakukan operasi militer. Pemerintah Thailand sejatinya enggan  untuk mengizinkan opsi militer, dan memilih untuk menggunakan jalur negosiasi kepada para penyandera, meskipun akhirnya pemerintah Thailand mengizinkannya dikarenakan pesawat tersebut adalah pesawat Indonesia dengan penumpang dan para penyandera dari Indonesia.

Terkait adanya warga AS di dalam pesawat tersebut, Duta Besar AS untuk Indonesia pada saat itu, Edward Masters, khawatir akan keselamatan warganya jika digunakan opsi militer. Namun Letjen Benny Moerdani menegaskan, “Maaf, ini sepenuhnya adalah urusan bangsa Indonesia, dan itu adalah pesawat Indonesia,”

Sebuah pesawat DC-9 “Digul” milik Garuda  dipinjam untuk digunakan sebagai latihan oleh pasukan Kopassandha. Setelah dua hari berlatih, berangkatlah 35 anggota pasukan Kopassandha dari Jakarta menuju Dong Mueang, Thailand, menggunakan pesawat Douglas DC-10 milik Garuda. Pesawat DC-10 itu mendarat di Don Mueang, dan dibuat sedemikian rupa agar pendaratan tersebut seolah-olah adalah penerbangan komersial Garuda Indonesia yang baru tiba dari Eropa. 

Salah seorang anggota Kopassandha, Pembantu Letnan Dua (Pelda) Pontas Lumban Tobing mengenang ucapan Letjen Benny Moerdani sesaat sebelum operasi dimulai, “Tunjukkan jati dirimu, lebih baik kita pulang nama dari pada gagal di medan laga. Kata-kata [Letjen B. Moerdani] itulah yang memotivasi semangat dan keberanian saya untuk berhadapan langsung dengan pembajak dan membebaskan para penumpang yang disandera meskipun harus mengorbankan nyawa saya “, 

Serangan Fajar

Pukul 02.30 dini hari tanggal 31 Maret, seorang jurnalis asal AS yang berada di atas sebuah bus membangunkan rekan-rekannya sesama jurnalis yang berasal dari Indonesia, AS, Thailand, Jepang, Singapura, Jerman Barat dan Australia.  Jurnalis AS itu melihat sejumlah tentara berbaret merah berada sekitar 500 meter dari pesawat dan mendekati Woyla perlahan. Apa yang disaksikan wartawan AS itu adalah dimulainya aksi pasukan elit Indonesia dalam menangani aksi pembajakkan pesawat pertama dan terakhir dalam sejarah Indonesia.

Kopassandha membagi tiga tim bersenjatakan senapan semi otomatis, Red Team, Green Team dan Blue Team. Tigabelas menit kemudian, unit tempur Thailand bergerak mengambil posisi untuk mencegah jika para penyandera berusaha melarikan diri. Setelah unit tempur Thailand berada di posisi, ketiga tim Kopassandha tersebut beraksi namun dengan tidak bersamaan, di mana Green Team terlebih dahulu masuk ke dalam Woyla melalui main exit door dengan memanjat sayap pesawat.  Letkol Inf. Sintong Pandjaitan memimpin operasi tersebut.

Pelda Pontas LumbanTobing menjelaskan tentang keputusannya menggunakan pintu utama ketimbang akses lainnya, “pertimbangan saya dan Ahmad Kirang kalau secara senyap masuk melalui pintu darurat begitu nongol akan di gorok pembajak dan kita tidak bisa membedakan mana pembajak dan mana penumpang, maka kita berinisiatif dan memutuskan untuk melalui pintu utama”,

Setelah Green Team masuk, seorang pembajak seketika itu menembak anggota tim Kopassandha, Achmad Kirang, di bagian perut, dan diikuti aksi bunuh diri si penembak dengan cara menembak dirinya sendiri. Blue Team dan Red Team kemudian masuk ke dalam pesawat dan berhasil menembak dua pembajak lainnya.  Komandan unit kemudian berteriak memerintahkan agar seluruh penumpang keluar dari pesawat dengan segera. Ketika para penumpang berhamburan keluar pesawat, seorang pembajak dengan granat di tangan berusaha ikut keluar dari pesawat untuk melemparkannya kepada kerumunan penumpang. Namun beberapa penumpang berusaha mencegahnya dan akhirnya seorang anggota tim melumpuhkannya. Beberapa menit kemudiamn, seorang pembajak terakhir pun tewas di luar pesawat.  

Pemimpin kelompok tersebut, Imran bin Muhammad Zein selamat dalam peristiwa baku tembak tersebut dan diamankan anggota Kopassandha, yang kemudian dijatuhi hukumkan mati oleh pengadilan Jakarta Pusat dua tahun kemudian dengan disaksikan oleh Letjen Moerdani. Seorang anggota Kopassandha, Achmad Kirang, dan kapten pilot Herman Rante meninggal dunia beberapa hari setelah operasi pembebasan tersebut di rumah sakit Don Mueang. Tidak ada satu penumpang pun yang menjadi korban baik luka maupun korban jiwa.  

Tragedi Woyla Perkenalkan Kopassus Kepada Dunia 

Pembajakan dengan mengatasnamakan agama ini merupakan peristiwa pembajakan pesawat pertama dalam sejarah Indonesia. Operasi ini mengejutkan dunia keesokan harinya. Asian Wall Street Journal Report beserta sejumlah Negara di Asia dan Eropa memuji suksesnya aksi pembebasan sandera oleh pasukan elit Indonesia. Sesaat kemudian ,berita tertembaknya presiden AS saat itu, Ronald Reagen pun merebak, dan para jurnalis AS kemudian mengalihkan fokusnya kepada peristiwa penembakan yang terjadi sehari tepat sehari sebelum aksi pembebasan itu.

MISI PASUKAN KHUSUS - OPERASI PEMBEBASAN SANDERA PESAWAT GIA WOYLA
Kopassus Pasukan Kebanggaan Indonesia
Dunia mengakui efektifitas Kopassandha dalam melakukan operasi pembebesan tersebut. Terhitung sejak para anggota pasukan mendarat dan keluar dari pesawat DC-10 yang mengangkut mereka dari jakarta, hingga masuk ke Woyla dan menuntaskan misinya, waktu yang dibutuhkan tidak lebih dari satu jam. Bahkan, perjalanan dari Jakarta ke Bangkok menggunakan trijet DC-10 memakan waktu empat kali lebih lama dari operasi pembebasan tersebut.

Sejak tahun 1950 hingga saat ini, terdapat lebih dari 60 pesawat yang dibajak oleh sejumlah kelompok ekstrimis. Namun hanya ada empat negara yang dengan gemilang melumpuhkan para teroris dan menyelamatkan para penumpang. Ke empat Negara tersebut adalah Jerman (GSG 9), Israel (Mossad), Singapura (SOF) dan Indonesia (Kopassus). Ke empat unit pasukan elit tersebut mencetak sukses dan dikenang di dunia, terutama di kalangan militer; yang hingga saat ini, prestasi mereka sulit untuk ditandingi. Dan khusus untuk pasukan elit Indonesia yang pada waktu itu masih bernama Kopassandha, melumpuhkan aksi terorisme itu hanya dalam tempo kurang dari 90 detik!



Artikel lainnya :
KOPASSUS DAN PERAN PRABOWO DALAM PEMBEBASAN SANDERA DI MAPENDUMA
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar